About Coffee - Kaffee

Sejarah Kopi di Indonesia




Sebagai pecinta kopi, balad-balad mestinya tahu bagaimana sejarah kopi di Indonesia. Berdasarkan literatur yang Saya baca, kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1696 dengan jenis kopi Arabika yang berasal dari Yaman. Kopi ini masuk melalui pelabuhan Batavia oleh komandan pasukan Belanda yang bernama Adrian Van Ommen atas perintah walikota Amsterdam, Nicholas Witsen, yang selanjutnya ditanam dan dikembangkan dengan menggunakan tanah partikelir Kedaung di tempat yang saat ini dikenal dengan Pondok Kopi di daerah Jakarta Timur.

Namun kopi jenis ini kemudian mati semua karena disapu banjir. Akhirnya pada tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang ditanam di sekitar Jakarta dan Jawa Barat yakni Sukabumi, Bogor, Banten dan Priangan lalu menyebar ke berbagai kepulauan di Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. Di Sulawesi, kopi pertama kali ditanam tahun 1750. Di dataran tinggi di Sumatra Utara kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888, diikuti oleh dataran tinggi Gayo (Aceh) dekat Danau Laut Tawar pada tahun 1924.

Akhirnya saat itu, kopi menjadi komoditas dagang yang sangat diandalkan oleh VOC. Pada tahun 1706, kopi Jawa ini diteliti oleh Belanda di Amsterdam, yang selanjutnya hasil penelitian tersebut diperkenalkan dan ditanam di Jardin des Plantes oleh Raja Louis XIV pada tahun 1714.

Untuk mendukung produksi kopi, VOC membuat perjanjian yang berat sebelah dengan penguasa setempat, yang mana para pribumi diwajibkan menanam kopi yang harus diserahkan kepada VOC. Perjanjian ini disebut Koffiestelsel dan karena perjanjian ini pula, biji kopi berkualitas tinggi dari tanah jawa bisa membanjiri Eropa.


Ekspor kopi asal Indonesia pertama dilakukan pada tahun 1711 oleh VOC, dan dalam kurun waktu 10 tahun, produksinya bisa meningkat sampai 60 ton per tahun. Hindia Belanda saat itu menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia, yang dimonopoli oleh VOC dari tahun 1725 – 1780. Kopi Jawa saat itu sangat terkenal di Eropa, sehingga orang-orang Eropa menyebutnya dengan istilah  “secangkir Jawa”. Sampai pertengahan abad ke 19, kopi Jawa menjadi kopi terbaik di dunia.

Sistem perdagangan kopi terus berlangsung walaupun VOC dibubarkan dan Hindia Belanda diperintah oleh pemerintah Belanda. Ketika Hermann Willem Daendels (1762-1818) memerintah, ia membangun jalan dari ujung bawat Jawa sampai ujung timur yakni dikenal dengan Jalan Anyer-Panarukan. Tujuannya untuk memudahkan transportasi prajurit Belanda dan surat-menyurat di tanah Jawa serta untuk mempercepat biji kopi dari ujung timur Pulau Jawa mencapai pelabuhan di Batavia, dan selanjutnya dikapalkan ke Belanda untuk dijual ke Eropa.

Penderitaan akibat Koffiestelsel ini kemudian berlanjut dengan Cultuurstelsel alias sistem tanam paksa. Melalui sistem tanam paksa yang diciptakan Johannes van den Bosch (1780-1844, rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi, pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan di tanah Jawa dan Sumatera pada tahun 1840-an.

Namun, di atas penderitaan rakyat, produksi kopi di Jawa mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Pada tahun 1830 – 1834, produksi kopi Arabika mencapai 26.600 ton, 30 tahun kemudian meningkat menjadi 79.600 ton dan puncaknya pada tahun 1880 -1884 mencapai 94.400 ton. Kopi arabika inilah yang menjadi kopi legendaris dari Indonesia. Orang barat menyebutnya dengan kata Java, merujuk dari asal kopi yaitu pulau Jawa. Java coffee begitu terkenal di Amerika, kopi ini menjadi primadona di dunia karena rasa dan aromanya yang eksotis. Begitu tersohornya, hingga kata Java tidak hanya digunakan untuk kopi yang berasal dari pulau Jawa saja, melainkan sebagai kata yang melambangkan kopi yang enak dan elegan.

Selama satu tiga perempat abad, kopi Arabika merupakan satu-satunya jenis kopi komersial yang ditanam di Indonesia. Namun sayang, perkembangan budidaya kopi Arabika di Indonesia mengalami kemunduran hebat, dikarenakan serangan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1876. Dampaknya, kopi Arabika yang dapat bertahan hidup, hanya yang berada pada daerah-daerah dengan ketinggian 1000 meter ke atas dari permukaan laut. Sisa-sisa tanaman kopi Arabika ini masih dijumpai di dataran tinggi Ijen (Jawa Timur), Tanah Tinggi Toraja (Sulawesi Selatan), lereng bagian atas Bukit Barisan ( Sumatera) seperti Mandhailing, Lintong dan Sidikalang di Sumatera Utara dan dataran tinggi Gayo di Nangroe Aceh Darussalam, yang sekarang kopi-kopi dari daerah ini dikenal dengan  Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Sidikalang dan lain sebagainya.

Kopi Arabika yang ditanam di pulau Sumatera oleh pemerintah kolonial Belanda, saat ini menjadi kopi Arabika kategori terbaik di dunia. Kopi Arabika tersebut meliputi kopi Aceh gayo, Mandheling Sumatra, dan Lintong. Kita akan mudah menemukan kopi-kopi tersebut di berbagai negara yang mempunyai kebiasaan minum kopi yang baik. Kopi Arabika kita menjadi mahal dan berkelas setelah diolah oleh pelaku usaha kopi di negara-negara tersebut.Sedangkan kopi-kopi Arabica yang ada sekarang dan merajai adalah kopi Arabica, khususnya di Pulau Jawa adalah kopi Arabica asal Brazil dan Kolombia.

Untuk mengatasi serangan hama karat daun, saat itu pemerintah Belanda mendatangkan Kopi Liberika ke Indonesia pada tahun 1875. Tetapi kopi jenis ini juga mudah diserang penyakit karat daun dan kurang bisa diterima di pasaran karena rasanya yang terlalu asam. Sisa tanaman Liberica saat ini masih dapat dijumpai di daerah Jambi, Jawa Tengah dan Kalimantan.


Usaha selanjutnya, pemerintah Belanda mendatangkan kopi jenis Robusta pada tahun 1900, yang ternyata tahan terhadap penyakit karat daun dan memerlukan syarat tumbuh serta pemeliharaan yang ringan, dan produksinya jauh lebih tinggi. Maka kopi Robusta pun menjadi cepat berkembang menggantikan jenis Arabika, khususnya di daerah – daerah dengan ketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut dan mulai menyebar ke seluruh daerah baik di Jawa, Sumatera maupun ke Indonesia bagian timur.

Nah, semenjak pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, maka perkebunan rakyat terus tumbuh dan berkembang, sedangkan perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil di Sumatera; dan perkebunan negara (PTPN) hanya tinggal di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Pada tahun 1920, perusahan-perusahaan kecil di Indonesia mulai menanam kopi sebagai komoditas utama. Perkebunan di Jawa dinasionalisasi dan direvitalisasi dengan varietas baru kopi Arabika di tahun 1950-an. Varietas ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kecil melalui pemerintah atau berbagai program pengembangan masyarakat. Sekarang lebih dari 90% kopi arabika Indonesia dikembangkan oleh perusahaan kecil terutama di daerah Sumatra Utara, dengan lahan 1 hektar atau kurang. Produksi arabika tahunan sekitar 75.000 ton dan 90% diekspor. Kopi arabika yang sampai ke negara lain sebagian besar masuk ke segmen pasar spesial.

Itulah sedikit gambaran tentang sejarah kopi di Indonesia yang mestinya diketahui oleh para penikmat dan pecinta kopi di Indonesia.





Tag : Sejarah Kopi
Back To Top